previous arrow
Full 1
Wise Word
"Acquire knowledge,
and learn tranquility and dignity"
Full 1
Full 2
Wise Word
"Knowledge does not consist in narrating much. Knowledge is but a light which Allah places in the heart"
Full 2
Full 3
Wise Word
"Knowledge without action is insanity, and action without knowledge is vanity"
Full 3
next arrow

Archives

“MEMILIH PESANTREN”

Hari ini saya kembali mengunjungi putra pertama saya di pesantren. Kunjungan rutin yang selalu mengingatkan saya pada peristiwa lebih dari dua dasawarsa lalu, ketika saya mengecap dunia pesantren. Untaian kisah yang penuh lika-liku, senang, susah dan menggelikan, sering bercampur aduk. Saya menjumpai banyak sisi yang berbeda, antara dunia pesantren sekarang ini dengan yang saya alami dulu. Insya Allah mulai malam ini dan seterusnya setiap minggu malam, saya akan menceritakan cuilan-cuilan kisah saya di pesantren yang semoga bisa menjadi pembelajaran untuk pembaca dan bahan refleksi untuk diri saya sendiri.
Alkisah… tahun 1989 (27 tahun lalu), setelah tamat sekolah dasar, dengan mantap saya meminta kepada orang tua  untuk melanjutkan sekolah di pesantren. Waktu itu orang tua agak terkejut, karena saudara-saudara yang lain kebanyakan masuk pesantren setelah tamat SLTP. Keterkejutan serupa ternyata juga ditunjukkan salah seorang guru SD saya. Saya masih ingat bagaimana ekspresi kekecewaan justru kental di wajahnya saat tahu saya memilih melanjutkan ke pesantren, karena beliau berharap besar agar saya melanjutkan ke SMP favorit mengingat nilai akhir saya dulu menduduki peringkat terbaik lulusan. Kebetulan SD tempat saya sekolah juga favorit. Entah kenapa, waktu itu pesantren memang masih belum menjadi favorit. Mungkin karena hanya dipandang sebagai “pencetak ustadz”.

Ringkas cerita, tekat untuk masuk pesantren akhirnya terwujud. Awalnya saya mau dimasukkan ke sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, yang memang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Tapi rencana ini kandas, setelah ayah tahu bahwa di pesantren tersebut tidak mengeluarkan ijazah sekolah (hanya ijazah pesantren). Akhirnya saya dibawa untuk melihat-lihat salah  satu cabang dari pesantren tersebut (di tempat lain, tapi masih di Ponorogo) yang ternyata mengeluarkan ijazah persamaan (ada ijazah sekolah formal) dan ijazah pesantren. Saya langsung mengiyakan.

Sebagai anak belia yang baru tamat SD, hidup jauh dari keluarga tentu sangat membingungkan. Saya tidak tahu bagaimana cara mencuci baju sendiri, apalagi kalau sampai diminta memasak. Haddeeeehhh… Untungnya pesantren tempat saya sekolah adalah pesantren modern, sehingga urusan masak-memasak tidak perlu saya praktekkan, karena pesantren sudah menyediakan dapur.

Ngomong-ngomong tentang dapur, pesantren menyediakan dua kategori, dapur umum A (dapur umum) dan dapur keluarga. Dapur umum disediakan untuk santri senior (diistilahkan dengan “santri kibar”) dan dapur keluarga disediakan untuk santri junior (diistilahkan dengan “santri sighar”). Bedanya, kalau Dapur Umum, antrinya bisa mengular, cukup ramai, berjubelan, berderet-deret, pokoknya penuh sesak dengan ratusan santri. Tapi kalau dapur keluarga, santrinya dibatasi dan terbagi dalam beberapa tempat (ada B, C, D, E dst). Dinamakan “dapur keluarga”, karena memang tempatnya di rumah-rumah ustadz di dalam pesantren. Meskipun tetap harus mengantri, antriannya tidak sedahsyat, seheboh, atau “sengeri” dapur umum. Menunya juga lebih “lumayan memadai” dibanding menu dapur umum (Bersambung)


3 Replies to ““MEMILIH PESANTREN””

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *